Senin, 10 Januari 2011

Menjual Barang yang Masih Terikat Hutang

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ini adalah salah satu permasalahan dalam jual beli dan sering terjadi di tengah-tengah kita. Contoh kasusnya adalah si M membeli motor dari pihak A secara tidak tunai, lalu ketika masih belum selesai pelunasan ia menjualnya lagi pada pihak B secara tunai. Apakah jual beli semacam ini dibolehkan?
Syaikh Shaleh Al-Fauzan hafizhahullah sangat menekankan bahwa ada dua jual beli yang mesti dibedakan yaitu jual beli tawarruq dan jual beli ‘inah. Intinya, maksud beliau hafizhohullah, dua macam jual beli tersebut berbeda.[Syaikh Shaleh Al-Fauzan terangkan hal ini dalam Durus Fiqih Kitab “Al Muntaqa” (19 Muharram 1432 H).]
Berikut kami jelaskan dua macam jual beli tersebut. Semoga manfaat.
Definisi Jual Beli Tawarruq
Yang dimaksud jual beli tawarruq secara istilah adalah membeli suatu barang secara tidak tunai kemudian menjualnya lagi dengan tunai pada orang lain (bukan pada penjual pertama) dengan harga yang lebih murah dari harga saat dibeli.
Contoh: Ahmad membeli motor secara kredit (dengan kredit yang halal tentunya)[Di sini kami maksudkan kredit yang halal, karena ada bentuk kredit motor yang bermasalah (yang mengandung riba). Lihat bahasan rumaysho.com di sini: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/2816-kredit-lewat-pihak-ketiga-bank.html] dari pihak A seharga 15 juta. Kemudian masih dalam tempo pelunasan utang, Ahmad sudah menjual motor tersebut pada pihak B dengan harga lebih murah, yaitu 13 juta.
Jadi, sebenarnya maksud Ahmad adalah ia butuh uang 13 juta. Namun, ia hanya punya uang untuk cicil motor sebesar 1 juta. Jadi ia membeli motor dengan uang cicilan 1 juta tadi, lalu masih dalam waktu pelunasan kredit, ia jual motor itu lagi pada pihak B dengan harga lebih murah, 13 juta secara kontan. Moga paham dengan gambaran ini.
Istilah jual beli tawarruq cuma kita temukan pada istilah pakar fiqih Hambali. Ulama madzhab lainnya memasukkan pembahasan jual beli di atas pada pembahasan “bai’ al ‘inah” (jual beli ‘inah).
Defini Jual Beli ‘Inah
Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah.
Contoh: Sufyan menjual motor pada pihak A seharga 15 juta dan pembayarannya dilunasi sampai dua tahun ke depan. Belum juga dilunasi oleh si A, Sufyan membeli lagi motor tersebut dari si A dengan harga lebih rendah yaitu 13 juta, dengan dibayar kontan.
Sebenarnya yang terjadi adalah si A butuh uang 13 juta. Jual beli motor hanyalah perantara namun maksudnya adalah untuk meminjam uang. Untuk maksud peminjaman ini,  Sufyan yang ingin meminjamkan uang pada si A, menjualkan motor padanya. Lalu Sufyan beli lagi motor tadi dari si A dengan harga lebih rendah dari penjualan. Sama saja maksudnya adalah Sufyan meminjamkan uang pada si A 13 juta, nanti dikembalikan 15 juta, sedangkan motor hanya untuk mengelabui saja.
Semoga paham dengan gambaran di atas.
Sehingga, dari sini sebenarnya yang terjadi pada jual beli ‘inah adalah utang dengan kedok jual beli dan bermaksud mencari untung dari utang tersebut.
Padahal ada suatu kaedah para fuqaha yang ini dibangun di atas dalil,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
Setiap utang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.
Padahal, dosa riba telah jelas disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.” [HR. Muslim no. 1598, dari Jabir] Maksud perkataan “mereka semua itu sama”, Syaikh Shafiyurraahman Al-Mubarakfury mengatakan, “Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal dengan yang haram. Walaupun mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing dari mereka dari yang lainnya.”[Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 3/64] Tentang dosa riba, lihat bahasan rumaysho.com di sini: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/2620-memakan-satu-dirham-dari-hasil-riba-.html.
Hukum Jual Beli ‘Inah
Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqaha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau mungkin hanya melihat dari zhahir akad, menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:
Pertama: Untuk menutup jalan pada transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan, itu sama saja membolehkan kita menukarkan uang 10 juta dengan 5 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Jika kalian berjual beli dengan cara 'inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” [HR. Abu Daud no. 3462. Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 9/242]
Hukum Jual Beli Tawarruq
Mayoritas ulama membolehkan jual beli tawarruq, terserah ia menamakannya dengan tawarruq(sebagaimana dalam madzhab Hambali), atau ia menamakannya dengan istilah lain (bagi ulama selain Hanabilah). Alasan mereka yang membolehkan adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللَّهُ البَيْعَ
Allah menghalalkan jual beli.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Alasan lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا
Janganlah kamu melakukannya, juallah semua kurma itu dengan dirham kemudian beli dengan dirham pula.” [HR. Bukhari no. 4244, 4245 dan Muslim no. 1593, dari Abu Sa’id Al Khudri dan Abu Hurairah.] Hadits ini dimaksudkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan menukar langsung kurma kualitas bagus dan kurma kualitas rendah dengan takaran yang berbeda, artinya harus takarannya sama dan kontan. Sedangkan kalau kurma yang jelek kita jual dulu dan dapat sejumlah uang, lalu kita beli kurma bagus, maka ini dibolehkan. Ini artinya jika dalam satu transaksi tidak nampak bentuk dan maksud riba, maka tidak ada masalah. Sama halnya dengan jual belitawarruq, sama sekali tidak ada bentuk riba di dalamnya. [ Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim melarang jual beli tawarruq. Namun yang lebih tepat adalah penjelasan di atas.]
Penutup
Sungguh berbeda dua macam jual beli tersebut. Perbedaan keduanya terlihat jelas. Jual beli ‘inah, kita menjual dan membeli lagi pada pihak yang sama. Sedangkan jual beli tawarruq, membeli dan menjualnya pada pihak yang berbeda. Sehingga dari sini jelas hukumnya berbeda. Jual beli ‘inahjelas mengandung trik riba.
Catatan yang perlu diperhatikan bagi orang yang ingin melaksanakan transaksi tawarruq adalah:
1. Karena tawarruq ada unsur utang piutang, maka seharusnya dilakukan dalam keadaan butuh sebagaimana juga dalam hal berutang. [Baca tentang Bahaya Utang di rumaysho.com: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/1739-bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html]
2. Hendaknya barang yang dijual (setelah sebelumnya dibeli tidak tunai), benar-benar telah menjadi milik utuh si penjual, artinya benar-benar ia miliki dan kuasai, bukan dikuasai atau berada di pihak lain. [Lihat bahasan Ustadz Abu Mu’awiyah di sini: http://al-atsariyyah.com/masalah-at-tawarruq.html]
Pembahasan tawarruq ini juga menunjukkan bahwa barang yang sudah dibeli secara kredit sudah menjadi milik pembeli seutuhnya. Coba lihat bagaimana kelirunya perkreditan yang ada di negeri kita. Ketika kita membeli motor secara kredit, pihak perkreditan masih menganggap bahwa motor tersebut tetap miliknya. Maka apa yang terjadi jika sudah jatuh tempo pelunasan, motor masih belum dilunasi? Motor tersebut akan ditarik dari pihak pembeli. Padahal yang tepat, motor yang sudah dibeli secata kredit sudah jadi milik pembeli, bukan lagi milik penjual walaupun itu dibeli secara tidak tunai (alias utang).
Pahami pembahasan riba lebih jauh di bahasan berikut:
Semoga bahasan ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat.
Reference:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 14/147-148.
Faidah Durus Syaikh Shaleh Al-Fauzan (sesi tanya jawab), pembahasan kitab Al-Muntaqa, Sabtu, 19 Muharram 1432 H.
Minnatul Minnah Syarh Shahih Muslim, Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Darus Salam, Riyadh, cetakan pertama, 1420 H.
www.rumaysho.com

'Akad Istishna'

Akad istishna' ialah salah satu bentuk transaksi yang dibolehkan oleh para ulama' sejak dahulu kala, dan menjadi salah satu solusi islami yang tepat dalam dunia perniagaan di masa kini.
DEFINISI

Akad Istishna'  ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya. (Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani 5/2 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)

HUKUM AKAD ISTISHNA'

Ulama' fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam dua pendapat:

Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 4/18, Al Inshaf oleh Al Murdawi 4/300, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)

Ulama' mazhab Hambali melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu:

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)

Pada akad istishna' pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam hadits di atas. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)

Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna' ialah menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114)

Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i. (Mawahibul Jalil oleh Al Hatthab 4/514, Al Muqaddmat Al Mumahhidaat 2/193, Al Muhazzab oleh As Syairozi 1/297, Raudhatut  Thalibin oleh An Nawawi 4/26.)

Ulama' yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam.

Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi. (silakan baca artikel tentang Transaksi Salam -ed)

Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang berkaitan dengan tempo pengkerjaan, dan jumlah upah.

Pendapat ketiga: Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama' penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari'ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad'iyyah oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448)

DALIL-DALIL

Ulama' mazhab Hanafi berdalilkan dengan beberapa dalil berikut guna menguatkan pendapatnya:

Dalil pertama: Keumuman dalil  yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta'ala:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا

"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.

Dalil kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ. قَالَ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم

Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim)

Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)

Dalil ketiga:
Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138 & Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)

Dalil keempat: Para ulama' di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:

الأصل في الأشياء الإباحة، حتى يدل الدليل على التحريم

"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya."

Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. (Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3)

Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu taisir (memudahkan):

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ. رواه البخاري

"Sesungguhnya agama itu mudah." (Riwayat Bukhari)

Dalil keenam: Akad istishna' dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, dapat anda saksikan bahwa pendapat ketiga lebih kuat, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dalam syari'at islam.

HAKEKAT AKAD ISTISHNA'

Ulama' mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna', sebagian dari mereka menganggapnya sebagai akad jual beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah). (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi  12/139, & 15/84-85 & Badai'i As Shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3)

Sebagian lainnya menganggapnya sebagai akad ijarah (jual jasa) pada awal akad istishna' dan setelah produsen selesai dari pekerjaannya memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli. (Fathul Qadir Ibnul Humam 7/116)

Menurut hemat saya, pendapat pertamalah yang lebih selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.

PERSYARATAN AKAD ISTISHNA'

Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama' mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:

1. Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.

2. Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/140 & Badai'i As Shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3)

3. Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal (Badai'i As Shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3, Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/115 & Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6//185)

Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna' yang telah saya sebutkan, maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.

KONSEKUENSI AKAD ISTISHNA'

Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.

Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna' sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual hasil produksinya kepada orang lain. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/116-117 & Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6//186)

Menurut hemat saya, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak telah terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني

"Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka." (Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albany)

KESIMPULAN

Dari pemaparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa akad istishna' ialah akad tersendiri, dan tidak sama dengan akad salam. Dengan demikian, hukum keduanyapun berbeda. Dan para ulama' yang membahas kedua akad ini menyebutkan beberapa perbedaan, akan tetapi menurut hemat saya, perbedaan yang paling menonjol antara keduanya terletak pada dua berikut:

1. Obyek akad keduanya; pada akad salam yang menjadi objek adalah barang semata, tanpa ada proses pengolahan. Sedangkan objek akad istishna' ialah barang dan jasa pengolahan barang secara bersamaan.

2. Waktu pembayaran, pada akad salam, para ulama' telah sepakat bahwa pembayaran dilakukan seutuhnya di muka alias tunai. Sedangkan pada akad istishna', pembayaran dapat dilakukan di muka dan juga boleh dilakukan dengan pembayaran terhutang.
Wallahu a'alam bisshawab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

'Pengertian Jual Beli (Murabahah)'

“Jual beli”, menurut hukum syariat, memiliki pengertian 'tukar-menukar harta dengan harta, dengan tujuan memindahkan kepemilikan, dengan menggunakan ucapan ataupun perbuatan yang menunjukkan terjadinya transaksi jual beli'. (Taisir 'Allam, jilid 2, hlm. 125)

Berdasarkan pengertian di atas, transaksi jual beli sangat berhubungan dengan harta (hal yang memiliki nilai ekonomis). Dalam Islam, harta itu mencakup tiga kategori:

Pertama: Benda
, baik berupa aktiva tetap, misalnya: tanah dan rumah, ataupun aktiva bergerak, misalnya: buku, sepeda motor, dan mobil.

Kedua: Hak
, misalnya: jual beli hak cetak buku dan jual beli merek dagang.

Ketiga: Manfaat,
yaitu jual beli kewenangan untuk memanfaatkan barang milik orang lain.

Tampaknya, jual beli jenis ketiga ini termasuk jenis jual beli yang tidak terkenal di masyarakat kita.

Contoh yang sering disampaikan oleh para pakar fikih untuk jual beli jenis ketiga adalah ketika posisi rumah kita berada di belakang rumah tetangga, sehingga kita tidak memiliki akses ke jalan besar kecuali harus melewati tanah tetangga kita tersebut. Misalnya kita bisa membeli “kewenangan untuk memanfaatkan tanah tetangga tersebut untuk kita lewati”, setelah kita mengadakan transaksi dengan tetangga kita tersebut maka kita selamanya memiliki kewenangan untuk menjadikan tanah tetangga kita tersebut sebagai tempat lewat bagi kita menuju jalan besar.

Kendati demikian, dalam transaksi ini, kita hanya memiliki pemanfaatan tanah tetangga kita untuk lewat tanpa memiliki tanah tersebut, karena fisik tanah tersebut tetaplah milik tetangga kita. Karenanya, kita tidak memiliki kewenangan untuk mengubah bentuk fisik tanah milik tetangga kita tersebut, yang pemanfaatannya telah kita miliki. Kita tidak diperkenankan untuk mengubah fisik tanah tersebut menjadi ber-konblok--misalnya--karena kita hanya memiliki pemanfaatannya, bukan fisik tanahnya.

“Membeli jalan” yang ada dalam contoh di atas jelas berbeda dengan membeli jalan yang lazim di masyarakat kita saat ini. “Membeli jalan” yang lazim di masyarakat kita saat ini adalah termasuk jual beli jenis pertama, yaitu jual beli benda, dalam hal ini adalah fisik tanah.

Berdasarkan pengertian jual beli di atas maka transaksi jual beli tidak hanya terbatas pada jual beli barang dengan uang, sebagaimana anggapan sebagian orang. Bahkan, barter, yaitu penukaran barang dengan barang, juga termasuk dalam kategori jual beli. Sehingga, barter kulit hewan kurban dengan daging adalah termasuk menjual kulit kurban.

Berdasarkan pengertian jual beli di atas, kepemilikan atas suatu barang sudah berpindah dengan semata-mata terjadinya transaksi jual beli, meski pembayaran belum selesai. Maksud dari transaksi jual beli adalah memindah kepemilikan atas barang yang diperjualbelikan. Jadi, meski transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi jual beli tidak tunai, barang yang dijual telah menjadi milik pembeli secara sah, meski pembayaran yang terjadi baru Rp 0,0. Kondisi ini berbeda dengan sewa-menyewa; hak untuk memanfaatkan barang yang sudah kita beli bersifat selamanya, tidak sementara.

Transaksi jual beli bisa dilakukan dengan kata-kata atau lisan, bisa juga dengan perbuatan.

Kata-kata yang digunakan dalam transaksi jual beli itu, boleh jadi kata-kata yang secara bahasa menunjukkan makna jual beli; semisal ucapan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian rupiah,” lalu pembeli mengatakan, “Ya, saya beli barang tersebut dengan harga yang tadi Anda sampaikan.”

Bisa pula, transaksi jual beli dilakukan dengan kalimat yang secara bahasa tidak bemakna jual beli, namun tradisi masyarakat setempat menilai bahwa kalimat tersebut sebagai kalimat jual beli. Misalnya: Pembeli mengatakan, “Bang, minta baksonya satu mangkuk,” lalu penjual mengatakan, “Ya.”

Kata “minta” dalam kalimat di atas, secara bahasa, tidaklah bermakna “membeli”, namun tradisi masyarakat menilai bahwa kalimat tersebut sebagai kalimat jual beli.

Bisa juga, transaksi jual beli menggunakan perbuatan tanpa ucapan, satu patah kata pun. Misalnya: Seseorang yang membeli suatu barang di swalayan. Boleh jadi, sejak masuk ke swalayan sampai keluar, tidak ada satu patah kata pun yang dia ucapkan, namun perbuatannya menunjukkan bahwa dia mengadakan transaksi jual beli dengan pramuniaga yang ada.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S (Pengusahamuslim.com)

'Meluruskan Kaki di Depan Orang'

حُكم مد الرجلين في مجمع الناس
Hukum Menjulurkan Kaki Ketika Bersama Banyak Orang
السؤال : نرى كثيرا من الشباب – في هذه الأيام –يمدون أرجلهم في المسجد مع الاتكاء
باليد وراءا دون حاجة أو ضرورة ، أليس في هذا إخلال بآداب المسجد والجماعة ، لا سيما وأن هذا الأمر يحدث منهم قبيل الصلاة ؟
Pertanyaan, “Saat ini, sering kami saksikan banyak anak muda yang menjulurkan kaki ketika berada di masjid sambil bersandarkan tangan yang berada di belakang punggung padahal tidak ada kebutuhan mendesak untuk melakukannya. Bukankah perbuatan tersebut tidak sejalan dengan sopan santun ketika di masjid dan ketika dengan shalat berjamaah? Padahal hal ini terjadi beberapa saat sebelum shalat berjamaah dilakukan”.
الجواب: ليس من الآداب مدُ الإنسان رجليه في مجمع من الناس سواء كان ذلك في المسجد أو غيرالمسجد ، إلى القبلة أم إلى غيرها ، لأن هذه الجلسة غير عادية ، وهي مُخلة بالمروءة
Jawaban Syaikh Abu Said al Jazairi, “Tidaklah termasuk kesopanan menjulurkan kaki ketika bersama banyak orang baik pada saat di masjid ataupun tidak, baik kaki ketika itu menghadap ke arah kiblat ataupun tidak. Ini adalah gaya duduk yang tidak sesuai dengan tradisi masyarakat sehingga gaya duduk semacam itu termasuk merusak muruah.
(ومعنى المروءة :آداب نفسانية تحمل مراعاتها الانسان على الوقوف على محاسن الأخلاق ،وجميل العادات )[قاله البُجَيروي رحمه الله تعالى نقلا عن كتاب القاموس الفقهي لسعديأبو حبيب ص 377]
Muruah adalah kondisi kejiwaan yang mendorong seorang manusia untuk melakukan berbagai akhlak mulia dan menjalankan berbagai tradisi masyarakat yang baik. Demikian pengertian muruah menurut al Bujairi sebagaimana dikutip dalam al Qamus al Fiqhi karya Saad Ya’bu Habib hal 377.
وعرفها الدردير المالكي رحمه الله بقوله ( كمال النفس بصونها عما يوجب ذمها عرفا ، ولو مباحا في ظاهر الحال) [الشرح الصغير 284]
Sedangkan al Dirdir al Maliki mendefinisikan muruah dengan ‘kesempurnaan jiwa yang menjaga pelakunya dari segala hal yang menyebabkan pelakunya dicela oleh masyarakat meski secara sepintas hal tersebut statusnya dalam syariat adalah perbuatan yang mubah’ [al Syarh al Shaghir hal 284].
ودليل المنع النصوص الشرعية العامة الآمرة بالأخلاق الحسنة ، وبجميل المظهر وحسن الهيئة واحترام الناس
Dalil yang melarang untuk menjulurkan kaki di depan orang adalah berbagai dalil syariat yang bersifat umum berisi perintah untuk berakhlak mulia, berpenampilan yang indah, berprilaku yang baik dan menghormati orang lain.
قيل لسفيان بن عيينة رحمه الله تعالى : قد استنبطت من القرآن كل شيئ ،فأين المروءة فيه ؟ فقال :في قوله تعالى (خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين )
Ada yang berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah, “Hukum segala sesuatu telah anda simpulkan dari ayat al Qur’an. Lantas ayat al Qur’an yang mana yang memerintahkan muruah?” Sufyan bin ‘Uyainah menjawab, “Itulah firman Allah yang artinya ‘Jadilah pemaaf dan suruhlah orang lain agar melakukan perbuatan yang tidak bertentangan dengan tradisi masyarakat [selama tidak melanggar aturan syariat, pent] serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh’[QS al A’raf:199]”.
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : {والحياء شعبة من الايمان } [رواه البخاري ومسلم ]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malu adalah salah satu cabang iman” [HR Bukhari dan Muslim].
وقال صلى الله عليه وسلم : { إذا لم تستح فاصنع ما شئت } (رواه البخاري )
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau tidak malu berbuatlah sesukamu” [HR Bukhari].
وقال صلى الله عليه وسلم : {إن الله تعالى يحب معالي الأمور ، وأشرافها ، ويكره سفاسفها}[رواه الطبراني وغيره وهو حديث صحيح كما في صحيح الجامع للألباني] .
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai segala sesuatu yang luhur dan bernilai serta membenci segala sesuatu yang rendah” [HR Thabrani dll, dinilai sahih oleh al Albani].
فإن قال قائل : ليس فيما ذُكر دليل صريح ،
Jika ada yang menyanggah dengan mengatakan “Dalil-dalil di atas bukanlah dalil tegas yang menunjukkan terlarangnya menjulurkan kaki di hadapan orang lain”
فالجواب بأن يُقال : هل يستحسن إدخال أصبعك في أنفك لتنظيفه أمام الناس ؟ فإن قال : لا يُستحسن ، قيل له : ماهو الدليل الصريح ؟
فإن قال الأدلة العامة ، قيل له فكذلك أدلة منع تلك الجلسة غير العادية أمام الناس هي الأدلة العامة .
Jawabannya adalah pertanyaan, “Apakah termasuk perilaku yang baik membersihkan kotoran hidung di depan banyak orang?”. Jika jawaban pertanyaan ini adalah bukan termasuk perilaku yang baik maka pertanyaan selanjutnya “Apa dalil tegas yang melarang untuk membersihkan hidung sambil ditonton banyak orang?”.
Jika jawab dengan berdalil umum yang memerintahkan berakhlak mulia maka kita katakan bahwa demikian pula dalil yang melarang untuk duduk dengan gaya duduk yang tidak sopan di depan orang lain adalah berbagai dalil umum yang memerintahkan untuk berakhlak mulia.
هذا وقد عدّ كثير من الفقهاء مدّ الرجلين أمام الناس من غير حاجة وضرورة وعذر من خوارم المروءة
Banyak ulama pakar fikih yang menilai bahwa menjulurkan kaki di depan orang lain tanpa adanya kebutuhan dan tanpa alasan adalah sikap yang berlawanan dengan muruah.
كما قاله أبو بكر محمد بن الوليد الطرطوشي المالكي ، فيما نقله عنه القاضي عياض في بغية الرائد ص (39) والنووي في روضة الطالبين (232/11)
Demikianlah pandangan Abu Bakr Muhammad bin al Walid ath Thurthusi al Maliki sebagaimana dikutip oleh al Qadhi ‘Iyadh dalam Bughyah al Raid hal 39, an Nawawi dalam Raudhah al Thalibin jilid 11 hal 232,
ومجد الدين ابن تيمية في تحرير (269 -268/2) وابن قدامة المقدسي في المغني (152/14) في كتاب الشهادات ، وفي زاد المستقنع مختصر المقنع لأبي النجا الحجاوي ، ووافقه شارحه ابن عثيمين في الشرح الممتع (6/226) في كتاب الشهادات أيضا ،
Majd Ibnu Taimiyyah dalam Tahrir jilid 2 hal 268-269, Ibnu Qudamah al Maqdisi dalam al Mughni 14/152 pada bab persaksian, penulis Zad al Mustaqni’ mukhtashar al Muqni’ yaitu Abu an Naja al Hajawi dan pendapat beliau ini disetujui oleh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Mumti’ 6/226 pada bab persaksian
والبهوتي في الروض المربع (375) وطاهر الجزائري في توجيه النظر (1/98) وانظر المروءة وخوارمها للشيخ مشهور بن حسن ( 167 -166)
Al bahuti dalam ar Raudh al Murbi’ hal 375 dan Thahir al Jazairi dalam Taujih an Nazar 1/98. Bacalah buku al Muruah wa Khawarimuha karya Syaikh Masyhur hal 166-167.
تنبيهان :
الأول : لا يُستحسن مدُ الرجلين أمام عامة الناس ، أما لو كان الإنسان بين إخوانه أو أصحابه أو تلامذته ، أو كان منفردا فلا يُمنع من ذلك ، لأن العلماء قد فرقوا بين حالة وحالة ، وكما قيل في المثل :
Catatan:
Pertama, secara umum menjulurkan kaki itu bukanlah perilaku terpuji ketika dilakukan di depan orang lain. Sedangkan menjulurkan kaki di depan saudara, kawan dekat, murid atau ketika sendirian tidaklah terlarang. Para ulama membedakan antara satu kondisi dengan kondisi yang lain. Pepatah arab mengatakan
عند الأحباب تسقط الآداب
‘di depan orang-orang yang mencintai kita sopan santun tidak perlu terlalu diperhatikan’.
الثاني : لا مانع من مد الرجلين ولو أمام الناس للضرورة أو الحاجة أو العذر ، كالمريض نحوه ، مع الحرص على الحشمة والوقار قد ر الاستطاعة .
Kedua, tidaklah terlarang untuk menjulurkan kaki di hadapan orang lain jika ada kebutuhan mendesak atau alasan yang bisa dimaklumi semisal kondisi sakit meski dalam kondisi sakit sekalipun hendaknya kita merasa malu melakukan hal-hal yang kurang sopan sehingga hendaknya kita berperilaku yang sopan sebisa mungkin.
الثالث : هناك من الأفعال ما لا يأتي به الإنسان إلا منفردا ، ولا يفعله حتى أمام خاصته وأحبابه ، كإدخال الأصبع في الأنف لتنظيفه ونحو ذلك .
Ketiga, ada beberapa perbuatan yang tidak boleh dilakukan kecuali ketika sendirian dan tidak boleh dilakukan meski di depan orang-orang yang memiliki kedekatan hati dengan kita, contohnya adalah memasukkan jari ke lobang hidung untuk membersihkan kotoran hidung.
قال الحسن بن علي رضي الله عنهما : ( أما المروءة : فحفظ الرجل دينه ، وإحراز نفسه من الدنس ، وقيامه بضيفه ، وأداء الحقوق ، وإفشاء السلام )
Al Hasan bin Ali mengatakan, “Muruah adalah tidak melanggar berbagai aturan agama, menjaga diri dari berbagai perbuatan yang dinilai buruk, melayani tamu, menunaikan hak orang yang punya hak dan menyebarluaskan ucapan salam”.
Sumber:
http://www.abusaid.net/index.php/fatawi-sites/67-2008-09-19-10-54-27.html
Artikel www.ustadzaris.com